Untuk sementara, proses pembahasan RUU Mahkamah Agung dan RUU Kejaksaan akan dihentikan. Sebab, Komisi III DPRingin fokus pada pembahasan revisi KUHAP dan KUHP. Proses pembahasan kedua RUU yang disebut terakhir diyakini membutuhkan banyak waktu dan tenaga mengingat jumlah pasal dan materi hukum yang diatur.
Informasi mengenai penghentian sementara pembahasan RUU Mahkamah Agung dan RUU Kejaksaan disampaikan anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, dalam seminar mengenai perlindungan saksi di Jakarta, Rabu (10/4). “RUU MA dan RUU Kejaksaan nanti bisa merujuk pada undang-undang payung,” kata politisi PDI Perjuangan itu.
Undang-undang payung dimaksud adalah RUU KUHAP dan RUU KUHP yang sudah masuk ke Komisi III DPR. Materi kedua undang-undang payung ini bersinggungan dengan tugas-tugas jaksa dan hakim. RUU Mahkamah Agung dan RUU Kejaksaan menjadi program legislasi nasional 2013 sebagaimana halnya RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Pernyataan terbuka Trimedya mendapat sambutan positif dari hakim agung Salman Luthan. “Penghentian pembahasan itu membahagiakan hakim agung,” ujarnya dalam acara yang sama.
Seiring proses pembahasan RUU Mahkamah Agung, muncul isu yang menyebutkan usia maksimal hakim agung akan diturunkan dari 70 tahun menjadi 67 tahun. Jika benar demikian, lalu RUU-nya dietujui bersama DPR dan Pemerintah, akan ada sejumlah hakim agung yang pensiun. Padahal saat ini saja jumlah hakim agung sudah tidak sebanding dengan perkara yang masuk.
Sebaliknya, penundaan pembahasan bisa berimplikasi pada ketiadaan aturan yang tegas membatasi perkara di Mahkamah Agung. Perkara rebutan beberapa tandan kelapa sawit pun, misalnya, bisa masuk ke Mahkamah Agung kalau tak ada pembatasan tegas. Akibatnya, kata Salman, beban perkara hakim agung terus bertambah.
Kriminalisasi hakim
Materi lain yang mendapat perhatian dari RUU MA adalah peluang kriminalisasi hakim agung. Pasal 98 RUU Mahkamah Agung (versi 11 April 2012) memuat ancaman kriminalisasi terhadap hakim yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 juncto Pasal 96. Pasal 94 mengatur wewenang DPR melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Agung. Pasal 96 melarang Mahkamah Agung menilai fakta dan pembuktian sepanjang tidak melanggar Undang-Undang.
Pasal-pasal itulah yang kemudian dinilai sebagai kriminalisasi hakim. Jika salah memutus perkara, hakim agung bisa dipidana. Ancaman ini sejalan dengan rumusan Pasal 97 RUU. Berdasarkan pasal ini, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dilarang membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara.
Pasal yang sama melarang hakim gung membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan.
Akhir Maret lalu, Mahkamah Konstitusimemutuskan pasal kriminalisasi hakim dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bertentangan dengan konstitusi. Adalah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang mempersoalkan aturan tersebut karena menganggap kriminalisasi mengganggu independensi hakimmemutus perkara.
Saat diminta memberikan masukan, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) juga menyinggung pasal 97 RUU Mahkamah Agung. LeIP berpendapat rumusan Pasal 97 RUU tidak hanya melanggar independensi peradilan, namun juga mengangkangi prinsip negara hukum.
Hakim agung Salman Luthan meminta DPR untuk tidak lagi mengulangi norma kriminalisasi hakim. Sebab, norma sejenis sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. (Sumber hukumonline.com)
Berita Lainnya
Pengumuman
Galeri Fakultas
Galeri Universitas
tags
- akuntansi
- beasiswa
- browser
- buku
- dikti
- ekonomi
- filsafat
- gemilang prestasi
- hukum
- islam
- jurnal
- kerjasama
- kesehatan
- komputer
- lanskap
- loker
- lomba
- lppm
- lppro
- magister
- manajemen
- metafisika
- olahraga
- pelatihan
- pengumuman
- pertanian
- peternakan
- pustaka
- seminar
- sepakbola
- sosial
- teknik
- ukm
- unpab
- wisuda